Monday, April 27, 2015
Sepeda Kuning
Naik sepeda itu asik. Naik sepeda muter-muterin gang atau komplek di area rumah lo bareng temen-temen, itu asik banget. Angin sepoy-sepoy serasa nabok secara pelan wajah lo. Tawa dan becandaan yang kita ucapin pas lagi muterin gang becek deket rumah kita, adalah moment yang 'wow' dalam sejarah gue main sepeda.
Dulu waktu gue masih tinggal di rumah yang dulu, di Rawasari, gue punya sepeda kecil warna kuning beroda empat. Gue namain dia 'Sepeda'. Hampir setiap hari gue pamerin sepeda kuning itu. Waktu itu masih dianggep 'Cool' kalo ada anak suka nyanyi lagu 'Abang tukang bakso' dan 'Sepeda'. Karena pengen matching-an sama apa yang gue punya, gue nyanyi lagu 'Sepeda', karena gue gamau keliatan kayak tukang bakso kuntet naik sepeda yang ga kalah kuntet. Gue ngebayangin diri gue lebih ganteng daripada ranger merah dari serial power ranger. Gue pernah nganggep sepeda gue itu megazord kecil-kecilan buat nyelametin bumi. Setelah gue noton kartun Transformers (waktu itu yang film belom muncul), yang gue harapkan adalah sepeda gue bisa jadi robot. Saat itu punya imajinasi kayak gitu adalah tipikal cowok kece dimata anak-anak cewek. Andaikata imajinasi abstrak kayak gini masih bisa narik cewek, mungkin gue udah jadi playboy paling sukses di jagat raya.
Waktu itu umur gue sekitar 4 tahunan. Temen gue ada yang udah kelas 6 SD, ada yang masih 4SD dan kebanyakan seumuran gue, TKA. Kami seneng banget naik sepeda. Muter-muterin gang rame-rame, ketawa ketiwi, becanda-becandaan pake imajinasi kami. Dulu problema main sama temen adalah ketika kita disuruh mandi atau makan dulu. 'Kafi! Masuk dulu! Makan!' atau 'Kafi! Mandi dulu!' adalah kalimat yang bikin gue ngeri kalo lagi asik main sama temen. Halaman rumah gue luas, jadi bisa nampung semua sepeda temen gue. Kami parkir disana dan kami sebut rumah gue sebagai 'Pom bensin' dimana kami bisa isi bahan bakar alias makan. Kebetulan ibu gue orangnya baik mau kasih makanan ke temen-temen gue. Well, meskipun ga ngasih banyak tapi palingga ngasih lah namanya juga tamu.
Kami punya geng sepeda yang sekarang gue lupa namanya apa. Kami bersaing sama anak gang sebelah yang nama gengnya pun gue juga ga tau. Kadang track kami suka papasan sama mereka, dan disitulah kami adu kata-kata kasar. Waktu itu kalimat paling kasar adalah 'Monyet'. Ga kayak jaman sekarang yang 'Anjing-anjingan', yang kami teriakin ga jauh dari 'Bodoh kamu!', 'Kamu ngalingin jalan kita!', 'Bahlul!' dan bahasa kasar level rendah lainnya. Kami suka adu trick atau gaya-gayaan naik sepeda. Temen gue ada yang jago banget bikin sepedanya berdiri selama semenit. Gak mau kalah, gue juga nyoba, alhasil punggung sakit dan betis gue berdarah. Anak dari gang sebelah juga ga mau kalah, mereka bikin trick oplosan mereka dan seketika kami terkesima. Pertarungan kami gapernah selesai dengan benar, karena salah satu dari kami pasti ada yang disuruh pulang. Karena gamau ada kecurangan akibat tak sebandingnya peserta, pertandingan pun diundur besok harinya. Dan seterusnya, seterusnya dan seterusnya.
Kehidupan gue sebagai pengguna sepeda termodis di gang terancam ketika temen gue mau ganti sepeda roda tiganya ke sepeda roda dua. Jelas reaksi temen gue tertuju ke dia, bukan gue. Gue risih, gengsi serta mumet akan hilangnya nama baik gue. Galau melanda, apa yang harus gue lakukan supaya gue ga kalah sama dia. Gue duduk memandang matahari terbenam bersama sepeda kuning. Gue berkata 'Da, kayaknya aku bakalan kalah sama "dia", aku bingung apa yang harus aku lakuin sekarang'. Siatuasi tenang. Angin berhembus melewati wajah gue. Sepeda pun berkata '...' dan disaat itu gue sadar gue harus move on ke sepeda lainnya. Tapi gue sayang sama sepeda, jadi apa yang harus gue lakukan? Ya, gue harus belajar sepeda roda dua.
Gue adalah anak paling genius di area rumah gue, buktinya gue menang lomba catwalk dengan cara nguap dan juri pun senang. Serius, gue adalah anak paling pintar kala itu. Sepeda kuning itu rodanya ada empat. Satu di depan, satu roda besar di belakang dan dua roda kecil di kanan dan kiri roda besar belakang. Gue pengen belajar step-by-step. Dengan nilai IPA gue yang tinggi kala itu, gue memiliki rumus 'Kalo gue ambil satu roda, maka rodanya ada tiga. Kalo gue ambil lagi satu, rodanya jadi dua. Kalo mau belajar roda dua, harus kuasain roda tiga'. Bener aja, gue copot roda kecil di kanan, sisa roda kecil kiri dan dua roda besar. Awalnya gue pikir bakalan seimbang, ternyata engga. Kalo rodanya empat gue jatohnya bisa kanan bisa kiri, semenjak gue lepas satu kalo jatoh udah pasti ke kanan. Entah gatau betapa kejamnya orangtua gue ngebiarin anaknya dibegoin sama kebegoannya sendiri, bukannya diingetin malah di-iya-in aja. Temen-temen gue nanya apa yang salah dengan kerja otak gue, tapi demi menjaga nama baik gue yang udah gue besarkan selama 4 tahun terakhir, gue stay cool. Jatoh? Ah kecil jatoh doang mah. Kecebur di got? Ah biasa itumah.
Setelah gue merasa pro akan kemampuan menjatuhkan diri ke aspal, gue menganggap bahwa diri gue udah siap menuju roda dua. Roda pun dilepas. Kaki dan pantat gue siap untuk terjatuh berkali-kali di ronde ini. Makin hari skill gue bertambah. Layaknya game, EXP gue bertambah dan gue naik level. It's over 9000! Sekarang gue udah ga galau lagi karena keberadaan gue bakalan terancam.
Satu hari dimana gue lagi main sepeda sama sodara, gue jatoh ke got yang dalem. Karena gue masih pendek, kedalaman gotnya seleher gue tapi airnya semata kaki. Dindingnya ga mulus, bergerigi gitu alhasil kaki kanan gue dari mata kaki sampe atas betis kegores besar. Darah ngucur tapi ga banyak. Sodara gue cowok, tapi teriak kayak anak cewek. 'Tolong! Sodara aku jatoh!' teriaknya. Dengan sikap cool yang gue miliki, gue bilang, 'Tenang aja, aku gapapa, kok. Bantuin angkat, dong!'. Dan gue gatau dia kenapa, teriakannya makin kenceng. Perjalanan ke rumah pun harus gue lewatin dengan sakit di kaki. Temen-temen gue ngeliatin dan nanya kenapa dengan kaki gue. Dengan santai gue jawab, 'Ah biasa berdarah doang inimah'.
Sekarang sepeda kuning itu gatau dimana dan siapa yang make sekarang. Intinya kalo gaada sepeda itu, gue ga mungkin bisa main sepeda kayak sekarang (Meskipun terakhir gue main sepeda 2 tahun lalu). Mungkin, kalo sepeda itu masih ada, tingginya se lutut gue lebih. Dan kalo gue nekat make sepeda itu, pantat gue merah karena joknya yang kecil.
Thanks buat yang udah baca blog gue kali ini! Agak absurd tapi gue pengen cerita pengalaman gue aja, siapa tau bisa bikin lo seneng atau gimana gitu. Toh bentar lagi mau UN jadi gue sengaja bikin hiburan kecil-kecilan. Well, kayaknya itu ajadeh yang bisa gue kasih kali ini. Thanks lagi ya!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment