oleh : Kafi ekayasa
Ia membenarkan kacamata, menyisir rambutnya dengan rapi, dan berjalan menyurusi Lorong sambil membawa buku-buku pelajaran. Puluhan pasang mata menatap; sebagian besar berlari menuju kelas, sisanya tersenyum manis kepadanya. Ketika Ia memasuki ruang kelas, semua menjadi sunyi. Tidak, ini bukan sunyi ketegangan, melainkan sunyi menahan rasa senang. Ketua kelas berdiri, meneriakkan perintah salam, dan anak yang lainnya memberikan salam. Guru tua ini menunduk pelan, menjawab, kemudian membalikkan badan dan mengambil sebuah spidol.
Hasan
Darmono, atau akrab dipanggil “pak Hasan”, adalah guru senior di SMAN 30 Jakarta
yang mengajar pelajaran biologi.
Tidak pernah tidak hadir di kelas kecuali panggilan rapat, dan hampir tidak pernah
memberikan tugas rumah kepada murid. Umurnya sudah memasuki masa pensiun, namun
semangat mengajarnya masih membara. Rambut yang mulai memutih seakan berkilau
ketika cahaya matahari menembus jendela dan terjatuh di atas kepalanya.
“Nah, dengan
demikian, pembelahan sel itu sendiri terjadi pada sel-“ ucapan Hasan seketika
terputus.
“Prokariotik,
Pak!” jawab seorang gadis di salah satu pojok kelas.
“Itu Nadya?”
tanya Hasan sambil membetulkan posisi kacamatanya. “Kamu percaya diri sekali
hari ini. Namun, kamu tadi salah. Jawaban yang benar adalah pada sel eukariotik,”
dan sekelas menertawakannya. “Sudah. Jangan tertawai dia. Sekarang, siapa yang
tahu kapan sel akan membelah?”
“Kalau sudah
waktunya, Pak!” cetus salah satu anak yang duduk di dekat pintu disertai tawa
kecil anak-anak di belakangnya.
Kelas Biologi
tak pernah menjadi pelajaran yang sulit ketika Hasan yang mengajar. Semua
terasa santai, namun efektif. Ia mementingkan kualitas di atas kuantitas.
Seorang guru yang telah lama mengajar, sudah tahu persis apa yang dibutuhkan
dan diinginkan murid-muridnya.
Kelas 11 IPA
I mendapatkan jadwal pelajaran Biologi pada jam pelajaran terakhir. Sebelum
pulang, biasanya doa dipimpin oleh ketua kelas, dilanjutkan dengan salam,
kemudian semua pulang menuju rumah masing-masing. Hasan masih sibuk di meja
guru merapikan buku dan boneka bebek yang tadi ia pakai sebagai media
presentasi. Anak-anak menyerukan salam kepadanya, namun Ia hanya mampu
menjawabnya dengan tersenyum dan mengangguk.
“Biar Saya
bantu, Pak,” ujar Nadya.
“Oh, ya,
terimakasih, Nadya.”
“Saya suka boneka
bebek ini. Siapa namanya, Pak?” tanya Nadya sambil mengambil boneka bebek yang
tergeletak di atas meja.
“Itu punya
cucu Saya. Seingat Saya, bebek itu punya nama. Sayangnya Saya lupa, haha.”
“Bapak beli
ini di mana?” tanya Nadya lagi.
“Saya beli
itu di pasar. Kebetulan murah. Kau penasaran sekali, ya?”
Terjadi
keheningan sejenak sampai akhirnya Nadya berkata, “Pak, Saya ingin bertanya.”
“Kau masih bingung dengan materi tadi?” tanya Hasan.
“Kau masih bingung dengan materi tadi?” tanya Hasan.
Nadya menggeleng,
kemudian mengambil kursi dan menempatkannya di samping meja guru. Ia duduk dan
bertanya, “Bapak pernah terpikir apa yang akan terjadi kalau bapak sudah tidak
ada lagi di Bumi?”
“Heh, jangan suka bicara seperti itu,”
jawabnya. “Tidak baik.”
“Tapi, Pak, Saya
hanya bertanya. Lagipula, Saya memikirkan itu karena Saya hanya penasaran.”
“Apa yang
menumpuk dalam kepalamu itu?” tanya pak Hasan.
“Saya mulai
bertanya apakah akan ada banyak orang menangis ketika melihat jenazah Saya?
Apakah mereka akan menceritakan cerita-cerita baik selama Saya hidup? Ataukah
mungkin, cerita Saya tidak cukup baik dan tidak cukup banyak untuk mereka
ceritakan?” jawabnya.
Hasan menutup
tas selempangnya itu, kemudian meletakkannya di atas pangkuan. Menggoyangkan
kumis putihnya perlahan, kemudian bertanya serius, “Nadya, kenapa kau
berpikiran seperti itu? Kau ada masalah?” Bahkan sebelum Nadya menggelengkan
kepala, Hasan menyelak, “Kalau kau memang ada masalah, Saya bisa bantu. Kau
butuh bantuan apa?”
Nadya tetap
membisu seakan hidupnya tak pernah tertimpa beban.
Sebuah bola
sepak memecah kesunyian dengan menabrakkan dirinya pada pintu kayu kelas.
Suaranya cukup kencang; cukup kencang untuk mengeluarkan mata Nadya dari
kantungnya dan kumis pak Hasan rontok sejadi-jadinya.
Tak lama,
seorang lelaki dengan wajah berkeringat datang untuk mengambil bola yang salah
arah itu. Namanya Danu, tak begitu terkenal, tak begitu pula ditinggalkan. Anak
yang cukup nakal, namun mampu mengatur jadwal. Seorang yang sempurna bagi
seorang perempuan. Sebuah mimpi indah klasik bahkan untuk gadis lugu seperti
Nadya.
“Permisi,
pak, Nadya. Itu, anu, Saya ingin mengambil bola yang tadi. Maaf mengganggu,”
ucapnya sambal mengambil bola. Ia pergi meninggalkan kelas sambil menggaruk
kepala dan senyuman aneh di wajahnya.
Mata Nadya
cukup terkunci pada wajah lelaki itu. Baginya, sapaan seperti itu sudah cukup
untuk makan semalam.
“Itu
permasalahanmu?” tanya pak Hasan tanpa ragu-ragu.
Awalnya Nadya
tidak paham apa maksudnya. Dia hanya menatap wajah pak Hasan dengan tatapan
kosong. Seketika otaknya kembali terpasang, wajahnya memerah, dan seketika
berteriak, “Bukan, Pak! Ya ampun, Pak! Bukan!”
Sambil
berdiri meninggalkan Nadya yang tersipu malu melihat pangeran, Ia berkata, “Ah,
suka aneh-aneh saja anak sekarang. Kalau memang suka, ya, jujur saja. Toh,
lelaki suka wanita yang jujur, kan?” Sambil tertawa Ia melanjutkan, “Saya suka
wanita yang jujur. Saras, istri Saya, adalah wanita yang jujur. Saya jatuh
cinta pada kebersihan hatinya,” dan melirik sedikit kearah Nadya. “Kira-kira
dia masak apa hari ini, ya?”
“Semur
jengkol supaya bapak sakit perut!” cetus Nadya sambil meninggalkan ruang kelas
mendahului pak Hasan.
Hasan tertawa
melihat tingkah Nadya tadi. “Padahal Saya senang makan jengkol,” katanya.
Lorong
sekolah pukul empat sore tampak sepi tanpa anak yang biasanya berlalu-lalang
menuju pintu gerbang atau sebaliknya. Di sampingnya ada lapangan yang dipakai
anak lelaki bermain futsal. Ya, di sana ada Danu, lelaki yang namanya terukir
dalam benak Nadya tiap pagi menyapa. Danu terlihat semangat dengan kaki
lincahnya menggiring bola melewati lawan. Tiap langkah menjadi bara api
melelehkan hati kecil Nadya. Bahkan, dalam benak Nadya muncul keinginan aneh
untuk terhantam bola demi bisa berbicara lagi dengan Danu.
“Seru, ya?”
ucap suara seorang gadis tak jauh dari Nadya.
Nadya hanya
mengangguk, mungkin kupingnya kalah fokus dengan matanya yang terkunci pada
Danu.
“Danu itu memang
jago, sih.”
Anggukan
Nadya semakin kencang dan cepat.
“Tapi Sayang,
mungkin lo harus menjauh.”
Nadya tidak merespon. Mungkin Ia memang harus
menjauh. Ia bergeser selangkah ke kiri supaya gadis ini bisa menyaksikan aksi
pangeran Danu.
“Dasar idiot! Bukan menjauh yang seperti itu!”
bentaknya.
Nadya
terkaget dan berbalik badan. “N-Ninda? Oh, h-hai!” sapanya gelagapan.
Ninda memang
terkenal dekat dengan Danu sejak masa SMP. Sekalipun Danu berkata tidak, namun
Ninda bersikeras untuk menjadi miliknya.
“Kapan bisa
terbangun dari mimpi indahmu itu?” tanyanya layak seorang hakim di pengadilan.
Sambil
membenarkan rambutnya yang lurus dengan sedikit gelombang diujungnya, Nadya
berkata, “Eee… Mungkin nanti?”
“Maaf, Nad,
tapi jangan bertingkah centil di depan Gue,
ya. Ini serius. Gue tau lo doyan banget sama cowok kayak dia, tapi tolong berhenti
mulai dari hari ini,” gertaknya denga nada mulai meninggi.
Nadya
kehabisan kata-kata. Lagipula, dalam benaknya Ia bertanya, kenapa harus
menjatuhkan orang lain untuk mencapai puncak? Namanya hidup sudah pasti
bersaingan, bukan?
“Kalau lo memang bersikeras untuk rebut dia
dari Gue, silakan saja,” ancamnya. “Gue ga sendirian.”
Ninda
meninggalkan Nadya dengan langkahannya yang angkuh. “Mati aja, lo,” gumamnya. Ia menghampiri Danu
sambil merapikan wajahnya; menjadi gadis periang bermuka dua lagi.
Setetes air
mata mengalir dari mata kanannya, menuju pipi, kemudian jatuh di dekat kantung
seragam putihnya itu. Kepalanya seakan tertimpa Gunung Semeru. Dadanya seakan
terhimpit di tengah Selat Malaka. Kakinya melentur seperti kain-kain batik pengerajin
Jogja. Ia tak kuat. Matanya mengucurkan rasa sakit yang baru saja diterimanya.
Tak mau menampung malu, Nadya pergi keluar sekolah dan segera menuju pangkalan ojek. Ia mengusap air matanya, dan
secepat kilat di langit Banyuwangi, ia sudah sampai di rumah.
Sarti
membukakan pintu untuk Nadya yang baru saja sampai di rumah. Gerbangnya
bukanlah gerbang mahal setinggi tiga meter, melainkan gerbang biasa yang
digeser untuk memudahkan mobil keluar dan masuk. Rumahnya bukan pula rumah
megah yang biasa dilihat di layer kaca, melainkan rumah yang cukup untuk
keluarga dan saudara yang sengaja berkunjung. Kamarnya pun bukanlah kamar
impian yang biasanya terpampang di Internet, melainkan kamar berukuran dua kali
dua meter dengan sebuah kasur, meja belajar, dan sebuah lemari. Hidup Nadya
tidak berbeda dari kehidupan anak lainnya; hanya ingin bahagia, itupun sudah
lebih dari cukup.
Teh sudah
menjadi sahabat menulisnya sejak kecil. Ia seorang penulis kritik di berbagai
media berita dengan nama samaran yang ia buat. Dalam dunia maya, ia adalah ratu
berotak kritis. Namun, julukan itu mungkin tidak ada apa-apanya dalam
kehidupannya di sekolah.
Ia punya
sebuah buku diary kusam yang dikubur
di bawah tumpukan baju dalam lemarinya. Isinya tentang berbagai keluhan dan
penderitaan apa lagi yang Ia rasakan. Sekalipun tak ada seorangpun selain Nadya
yang membacanya, Ia tetap menulis dan menulis. Menurutnya, Tuhan tahu doa dapat
diberikan lewat mana saja, dan Ia yakin bahwa Tuhan juga mau membaca diary-nya.
Ponsel tak
berdering sejak tadi turun dari motor; padahal batere masih tersisa 86%, dan
sudah terhubung pada jaringan Wi-Fi.
Tak ada notifikasi apapun baik dari teman sekelas, Danu, bahkan orangtuanya.
Ya, Mama dan Papa tak pernah menghubungi Nadya via ponsel maupun surat.
Mungkin, rumah ini memang dibangun untuk Nadya dan mbok Sarti tanpa keberadaan
Mama dan Papa.
Berpakaian
rapi dan bersih, sepatu mengkilap lengkap dengan tali yang terikat indah, Ia
berjalan menyusuri Lorong sekolah menuju ruang guru. Wajahnya berseri-seri;
bibirnya tersenyum cukup lebar hingga berhasil membuat kumis putihnya itu
tampak seperti garis lurus. Guru-guru lain dibanjiri tanda tanya. Ada apa
dengan Hasan?
“Istri Saya
tadi pagi membuatkan Saya bekal. Alhamdulillah si cantik sedang baik hari ini,”
ucapnya pada seisi ruangan.
“Hari ini ada
yang spesial, Pak?” tanya seorang guru di ujung ruangan.
“Sepertinya
tidak.”
“Bapak
yakin?” tanya guru lain.
“Oh, jelas. Saya
yakin sejuta persen,” ucapnya sambil membuka kotak bekal.
“Bapak yakin
hari ini tidak ada yang berulangtahun?”
Benar saja,
di dalam kotak bekal itu terdapat nasi goreng yang diselimuti telur dadar
goreng. Di atas telur dadar goreng itu tertulis “Selamat hari ulangtahun
pernikahan kita, ya, Pak,” dengan menggunakan saus tomat.
Pak Hasan
membeku. Ia lupa kalau hari ini adalah hari bersejarah dalam kehidupan mereka
berdua. Tangannya membeku, kumisnya rontok. “Saya memang pelupa,” gumamnya
dengan nada kecewa.
Dentuman
keras terdengar dari belakang sekolah, tepatnya di ruang gudang peralatan.
Pintu terkunci rapat, lampu kuning tua menyala remang tak mampu menyinari
seluruh sudut ruangan. Ninda, bersama kelompoknya tengah bersenang-senang
dengan gadis yang meminta ampun tanpa henti-hentinya. Nadya hanya mampu
menyilangkan tangannya di depan muka, berusaha menangkis tamparan demi tamparan
yang mereka beri. Roknya diSayat-Sayat dan ditarik oleh salah seorang gadis bertubuh
besar dari kelompok Ninda. Nadya hanya sendiri, sedangkan mereka bertujuh.
“Heh, jablay!
Ini peringatan terakhir bua lo!
Jangan pernah lagi lo deketin Danu!”
seru gadis kurus berwajah tua dari kelompok Ninda.
“Iya! Danu
itu cuma milik Ninda! Cuma dia yang berhak!” lanjut gadis berambut ikal di
sebelah Ninda.
Ninda hanya
tertawa sambil menjejalkan ujung sepatunya ke mulut Nadya.
Setelah
merasa puas, mereka pergi melangkah meninggalkan ruang gudan. Tak
tanggung-tanggung, salah satu anak di antara mereka ada yang sengaja kembali ke
ruangan hanya untuk meludahi wajah Nadya yang sudah basah oleh tangisan bahkan
sebelum ludah itu jatuh.
Tangisan
seorang gadis terdengar ketika Hasan tengah mencari udara segar di sekeliling
sekolah. Penasaran, Ia mengendus-endus mencari asal suara itu. Tak lama hingga
akhirnya ia memutuskan untuk memeriksa ruang gudang. Terkejut Ia melihat asal
suara itu adalah Nadya yang tengah mengelap air matanya dengan kain lengan baju
seragamnya. Dengan panik, Hasan menghampirinya dan bertanya ada apa. Tak
satupun frasa keluar dari bibirnya melainkan tangis yang cukup dalam. Hasan
merangkulnya, memintanya untuk berdiri, dan membawanya ke ruang BK.
Di ruang BK,
beberapa guru mengajukan pertanyaan soal apa yang dialaminya tadi. Sebagian
besar pertanyaan mengarah pada siapa yang melakukan ini padanya. Aneh, tapi
Nadya tak menyebutkan satu nama pun. Hasan dan guru-guru lainnya sudah lelah
bertanya tanpa adanya jawaban pasti dari Nadya. Kasus ini diajukan pada pihak
kepala sekolah, dan dalam hitungan hari, belasan kamera CCTV dipasang di sudut-sudut sekolah; tak memberikan celah gelap
pandangan pihak sekolah bagi mereka yang tidak bertanggungjawab.
Penambahan
mata pada sudut-sudut sekolah tetap tidak meredakan kekhawatiran Nadya dari komplotan
jahat Ninda. Ke manapun Ia pergi, Ia merasa diawasi oleh pihak yang masih dendam
padanya. Dengan terpaksa Ia harus menundukkan kepala setiap kali Danu menyapa
atau sekedar menatap. Ya, Nadya trauma akan hal yang menimpanya beberapa hari
lalu.
Naas, semua
penderitaan tak berhenti di situ. Tepat sehari setelah pemasangan kamera CCTV, komplotan Ninda kembali menyerbu.
Badai datang lebih dari tujuh awan kali ini. Sekiranya ada belasan; dan mereka
tampak cukup murka akan suatu hal. Nadya tahu ini bukan salahnya, namun kepalan
tangan yang meninjunya berkata lain.
“Jadi lo cepu dari semua ini!?” teriakan Ninda
cukup keras hingga menggema dalam ruang gudang sekolah. “Dasar ember! Pengecut!
Bisanya hanya mengadu dan mengadu! Lemah!”
Tangannya
kali ini diikat. Air mata mengalir tak henti-hentinya; tak berhenti layaknya
sepatu yang terus menendangi tubuhnya itu.
“Hajar saja,
Nin!” ujar salah satu gadis di antara mereka.
Dengan panik,
salah satu dari mereka ada yang berteriak, “Ada guru! Sirine putih! Sirine
putih!”
Lebih cepat
dari cahaya, mereka semua kabur melalui jendela yang kebetulan bertolakbelakang
dengan pintu masuk gudang. Sementara mereka panik tak karuan, Nadya hanya bisa
menangis dan meminta tolong.
Pintu
terbuka, dan tak lain tidak bukan adalah pak Hasan yang sedari tadi memantau
kamera CCTV. Ia sebenarnya tahu kalau
Nadya tadi sempat diseret menuju gudang, namun apa daya pria tua dengan asam
lambung yang tinggi. Ia baru sampai di gudang beberapa menit setelah perutnya
kembali stabil.
“Ini tidak
bisa dibiarkan. Nadya, sekarang jujur kepada Saya. Siapa yang baru saja
melakukan ini padamu?”
Nadya hanya
menggelengkan kepalanya sambil menahan air mata yang terus mengalir.
“Nak, jujur
pada Saya. Akan Saya bantu sebisa Saya.”
Ia tetap
menggelengkan kepalanya.
Andaikata
kamera yang dibeli sekolah adalah kamera berkualitas bagus, bisa saja pelaku
sudah teridentifikasi.
Kali ini BK
memberikan surat izin pada Nadya untuk tidak masuk sekolah hingga hari Kamis;
ini demi menenangkan pikirannya sejenak dari kekerasan yang Ia alami di
sekolah. Dengan tas biru tosca yang
biasa Ia pakai, Nadya pergi keluar sekolah dengan langkah yang cukup lemah.
Meskipun
sudah tua, semangatnya masih membara. Hasan membuat sayembara untuk siapapun
yang mampu menemukan pelaku kekerasan terhadap Nadya, akan diberikan imbalan
berupa penghargaan dan tiket pulang-pergi ke Jogja untuk bertamasya. Ia
mengumumkan ini melalui amanat yang biasanya disampaikan oleh pembina upacara
pada hari Senin. Ya, Hasan sudah pasti serius soal mencari siapa pelaku
kekerasan ini.
Wajahnya
mengkerut, namun dibasahi oleh keringat dingin. Ninda melirik ke kanan dan ke
kiri; mencari-cari temannya untuk berlindung. Ia takut. Ia ingin pulang lebih
cepat, paling tidak dua detik dari sekarang.
Hari pertama
cutinya Ia habiskan untuk menulis argumen-argumen kritis terhadap pemerintah di
media sosial. Dengan nama samaran Clowny, banyak warganet yang terpukau dan
mulai mengikutinya. Namanya semakin harum di masyarakat, dan masyarakat semakin
menantikan argument apa lagi yang akan ditulisnya. Nadya cukup senang dengan
kehidupan fananya. Ia mulai terbawa lamunan dunia maya, namun tangannya terlepas
pada ikatan dunia nyata.
Notifikasi E-Mail muncul pada sudut kanan bawah laptop-nya. Ini dari pak Hasan. Ia
menyapa Nadya dengan ketikannya yang masih sering salah huruf. Maklum, pak
Hasan gagap teknologi dan tangannya sudah tak segesit waktu muda dulu.
“Nsdya,, kamu
baikbaik sja/ Saya mau brlajar pakai email untuk komniksi dgn murid sya.”
“Alhamdulillah,
Saya baik-baik saja, Pak. Terimakasih sudah mau tau kondisi Saya, Pak.
Terimakasih juga sudah membantu Saya beberapa kali. Saya apresiasi itu,” balas
Nadya.
“Y, sya jg
slalu mendoakn yg terbsik utk nadya. Kmu jgn sedihsedih lg klau ada papa kamu
blh crita k Saya.”
Dan semenjak
itu Nadya mulai terbuka untuk mengeluarkan penderitaan hatinya.
“Mereka selalu
mengikuti gerak-gerik Saya, Pak. Dua tahun terakhir ini, mereka mengancam Saya
untuk tidak dekat dengan seseorang. Ya, Saya tahu tindakan mereka terlalu
kekanak-kanakan, tapi apa mampu Saya, Pak?
“Perut Saya
semakin sakit, Pak. Luka-luka memar dalam tubuh Saya juga lama sekali
sembuhnya. Setiap kali Saya mandi, luka-luka ini memutar kembali kejadian waktu
itu. Ini bukan hanya penderitaan fisik, Pak. Ini berpengaruh pada jiwa Saya
juga!”
“Nadys Saya
tahu km sdg dibri cobaan tp ttp sabra krn Allah sll mmbantu kita klw susah.”
Mungkin
jawaban dari pak Hasan tak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Nadya. Ia
mengharapkan kalimat yang lebih memotivasi dan mendukung kondisi mentalnya
untuk sembuh. Namun, Nadya sadar bahwa pak Hasan bukanlah siapa-siapa melainkan
guru tua gagap teknologi namun hati suci bersih dan selembut sutra.
Papa pulang
dari pelayarannya yang jauh. Seharusnya sudah ada sebuah kue cokelat lezat
menyambut kepulangan Papa; namun Nadya lupa akan hal itu. Ketika bel rumah
berdering, Nadya melompat dari kasurnya menuju ruang tamu. “Papa pulang!”
jeritnya. Namun senyuman itu pudar ketika melihat Papa pulang bersama sebotol
minuman keras. Wajahnya merah, matanya sayu, namun alisnya mengkerut layaknya
sedang murka. Nadya melangkah perlahan ke belakang untuk menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan.
“Hei, sini
kamu! Papa dengar kamu ada masalah, ya, di sekolah!?” teriak Papa teramat
keras.
Karena takut,
Nadya lari kembali masuk ke kamar dan mengunci pintu. Teriakan itu mengikutinya
bahkan ketika Ia sudah menjadi kepompong di dalam selimut.
“Dasar
cengeng kamu! Lemah! Pengecut!” lanjut Papa sambil berteriak. Ia berhenti
sejenak; mungkin untuk menarik napas atau meneguk minuman kerasnya itu. “Mati
saja, kau!”
Wajah
bahagianya kini tenggelam dalam air mata. Kedua telapak tangannya berusaha
menghadang suara itu masuk ke dalam telinga, namun gagal.
“Anak haram!
Kamu anak haram! Lihat ibumu sekarang melacur ke mana! Papa kecewa punya anak
pengecut seperti kamu!”
Habis sudah
air mata Nadya. Ia ingin menjerit namun tercekik, ingin melawan namun
terkekang. Ia lumpuh. Hatinya mati. Warna matanya memudar dan napasnya
melambat. Kalimat itu menusuknya perlahan dan sakit sekali. Tidak, hidup tidak
menjamin kebahagiaannya. Ia ingin pergi dari dunia ini.
Nadya
tertidur setelah lelah mengucurkan kesedihannya dalam diary-nya. Tiap halaman dihiasi setidaknya setetes air mata yang
terjatuh. Setiap halamannya berisi kesedihan dan penderitaan yang tak mampu Ia
suarakan. Hanya aksara yang mampu menampung segala duri dan paku dalam sukma.
Ia terbangun
pada pukul empat pagi. Setelah melaksanakan solat, ia menulis beberapa pesan
kepada pak Hasan melalui E-Mail.
“Pak, maaf Saya
baru balas. Kemarin Saya sedikit sibuk dengan tulisan-tulisan Saya di Internet.
“Pak, Saya
mau bertanya. Apa iya ketika mati nanti, Saya akan bahagia? Maksud Saya, dunia
ini sudah tidak ramah lagi pada Saya. Begitu banyak hal yang menekan dan
membuat Saya tersiksa. Tak peduli siapa, mereka selalu saja menyulitkan dan
disulitkan oleh Saya. Saya ingin berhenti dari semua ini. Kapan Saya bisa mati,
Pak?”
Setelah pesan
itu terkirim, Ia menutup laptop dan
berbaring di kasur. Dengan tangan kiri sibuk berselancar di layar kaca ponsel,
Ia menemukan sesuatu yang janggal. Beberapa foto yang cukup gelap dan sebuah
video beresolusi kecil. Seorang gadis menangis sementara yang lain menertawakan
dan mencaci. Benar saja, gadis di video itu adalah Nadya.
Terkejut dan
sesak ketika Ia tahu aibnya tersebar luas di dunia maya, Ia terus membaca caption yang tercantum.
“INI NIH
PENULIS SOK BIJAK YANG NGAKU DIRINYA CLOWNY!! LO JANGAN BELAGA REBUT JODOH ORANG DEH! LACUR LO HAHA! DASAR CEPU!” tulis salah satu akun yang namanya tak sesuai
dengan konten yang disediakan.
Segera Ia
mematikan layar ponsel dan memejamkan mata; berharap tadi itu hanya mimpi.
Sekalipun itu bukan mimpi, Ia berharap terbangun di dalam kubur daripada harus
tersiksa dunia.
Ia terbangun
lagi pada pukul tujuh pagi dengan ponsel dibanjiri notifikasi. Entah itu dari E-Mail, Line, ataupun aplikasi lainnya, semua bertanya akan kebenaran dari
foto dan video yang tengah viral itu.
Tak mampu menjawab semua, Ia pendam rasa rujak itu dalam dada. Dengan menahan
isak tangis pagi hari, ibu jarinya menggulung layar ponsel dan membaca komentar
warganet. Tak ada respon baik. Semuanya celaan, hinaan, dan makian. Kini dunia
tahu siapa Clowny yang sesungguhnya – dengan gambaran yang buruk, pastinya.
Aneh, tapi
belum ada respon apapun dari pak Hasan mengenai surat yang Ia kirim pagi tadi.
Mungkin Ia sudah mengajar atau apa, tak ada yang tahu. Nadya hanya berharap pak
Hasan membalas pesannya, Papa kembali berlayar, Ninda berhenti mengganggu, dan
dia bisa mati dengan tenang.
Pukul tujuh
malam, ketika notifikasi komentar warganet masih mengalir deras, ketika
kepalanya masih tertimpa Gunung Jaya Wijaya, sebuah panggilan telepon dari
nomor tak bernama muncul. “Ini pasti dari orang iseng,” ujar Nadya. Dengan
curiga dan penasaran yang tinggi, Nadya mengangkat panggilan itu.
“Nadya!
Assalamualaikum! Ini Saya, pak Hasan!” sapanya dengan semangat.
“Eh, bapak?
Waalaikumsalam. Bapak tahu nomor Saya dari mana?”
“Saya punya
data nomor ponsel satu kelas. Karena Saya masih khawatir dengan kondisimu, Saya
iseng telepon ke sini. Bagaimana? Sudah lebih baik?” tanyanya ramah.
“Alhamdulillah,
Pak. Saya masih sehat.”
“Saya beli
ponsel ini cukup murah. Baru kali ini Saya punya ponsel. Tadi tukangnya
mengajari Saya cara menelpon, dan Saya segera menelpon kamu.”
“Oh iya, Pak,
ehehe…” balasnya takt ahu harus berkata apa.
Terjadi
keheningan sesaat, namun napas pak Hasan yang cukup keras masih terdengar
jelas.
“Bapak kenapa
tidak membalas pesan Saya?” tanya Nadya mencairkan suasana.
“Saya menjual
laptop Saya untuk membeli ponsel,”
jawabnya santai.
“Hah!? Nanti
bapak presentasi bagaimana?”
“Jaman Saya
dulu mengajar, anak-anaknya bisa pintar tanpa perlu slide show, kok.”
Obrolan
mereka beralih pada masa-masa SMA yang pernah dialami oleh pak Hasan, dan
bagaimana Ia menjalani masa remajanya. Beberapa kali Ia selipkan motivasi dan
guyonan khasnya untuk menceriakan Nadya. Untuk sejenak Nadya lupa akan rasa
sakit yang dideritanya.
“Masa SMA itu
memang sulit, Nad. Saya doakan kamu mampu melewati semua ini. Segala
permasalahanmu, kesulitanmu, dan kawan-kawannya adalah rencana Tuhan untuk
nantinya kamu jadikan sebagai kenangan dan cerita yang akan kau banggakan.
Kalau kamu berhasil melewati semua ini-“
“Semua salah
Danu, Pak,” selak Nadya. “Kalau bukan karena dia, Saya tidak seperti ini.”
“Maksud
kamu?” tanya Hasan kebingungan.
“Iya.
Andaisaja Saya tidak suka pada Danu, dan dia tidak disukai oleh seorang wanita
yang merasa dirinya terganggu, Saya tidak mungkin di sini. Dia anggap diri Saya
apa? Dia melecehkan Saya layaknya hewan! Bapak lihat sendiri kondisi Saya
ketika itu di gudang!? Itu perlakuan mereka, Pak!”
“Tunggu,
tunggu, jadi ini perlakuan orang yang cemburu padamu-“
“Iya, Pak! Saya
tahu Saya anak yang lemah! Saya tahu Saya hanyalah anak biasa dari keluarga
biasa dan bukanlah anak kelas borjuis
seperti dia! Saya tahu Saya tidak punya teman setia seperti yang dia punya!”
“Nadya,
dengarkan Saya. Memangnya mereka melakukan apa saja padamu?”
“Bapak belum
lihat beritanya? Video penyiksaan Saya sudah tersebar di Internet!”
“Tapi Saya-“
“Iya Saya
tahu bapak belum paham cara akses internet.”
“Maaf-“
“Tapi tetap
saja, Pak! Saya tidak terima Saya diperlakukan seperti ini! Ini tidak manusiawi!
Saya sudah tidak kuat hidup di sini, Pak! Beri Saya solusi untuk mati tenang!”
jeritnya.
Hasan
kehabisan kata. Yang Ia mampu berikan hanyalah motivasi ringan yang pernah Ia
baca di salah satu buku di ruang perpustakaan.
“Omong
kosong, Pak! Tak pernah ada yang benar-benar mencintai Saya! Ibu Saya pergi
bersama pria lain, sementara ayah Saya mabuk-mabukan! Ketika Saya benar-benar
ingin merasakan apa itu cinta, dunia menolak dan mengirim pasukan gadis bodoh
tak berpendirian kepada Saya!
“Ya, menangis
dan berteriak tidak akan ada gunanya, bukan!? Begitu pula kalau saya mati! Tak
ada yang berubah. Langit tak kelabu, Bumi tak mengering, bintang tak meredup.
Untuk apa saya hidup kalau tidak ada artinya pada dunia!?
“Bapak hidup
cukup lama hingga rambut memutih seperti itu karena Bapak tidak tahu apa yang
saya alami! Bapak hanya berusaha peduli karena Bapak kasihan, bukan!? Tak
pernah ada orang yang murni peduli kepada Saya!”
Terjadi
kesunyian selama beberapa saat.
“Nadya, Saya
tahu Saya salah; Saya akui itu. Saya juga belum pernah merasakan seperti apa
yang kamu sedang rasakan sekarang. Pasti sakit dan benar-benar membebani. Saya
bisa bantu apa? Akan Saya bantu sebisa mungkin. Untuk saat seperti ini
sepertinya Saya hanya bisa bantu lewat doa, jadi-“
“Terimakasih,
Pak. Tapi, Saya lebih baik mati daripada terus-menerus seperti ini,” selak
Nadya sambil memutuskan panggilan.
Hasan panik
dan seisi rumahnya dibanjiri keringat dingin dan rasa cemas. Ia berkali-kali
menelpon ulang Nadya, namun tak ada jawaban. Ia khawatir apabila Nadya
benar-benar ingin melakukannya. Ia ingin mendatangi rumahnya, namun kini waktu
sudah menunjukkan pukul sebelas malam, dan kondisi tubuh Hasan yang sudah tua
tak mampu mengabulkan keinginannya. Saras sudah tertidur pulas; ingin
dibangunkan pun kasihan. Ingin ia telepon seorang teman sesame guru, namun ia
tidak tahu caranya. Hasan terjebak. Ia tidak tahu harus berbuat apa.
Sudah dan
tidak tahu harus apa lagi, akhirnya Ia mengambil sejadah, duduk menghadap
kiblat, dan berdoa kepada sang maha kuasa. Dalam doanya terselip permintaan
agar Nadya tidak melakukan hal seperti itu. Ia meminta agar Nadya disadarkan
dan memilih jalan yang lebih baik daripada membunuh dirinya sendiri. Hasan
mengambil posisi sujud dan meminta sambil menangis.
“Mas, bangun.
Sudah waktunya solat Shubuh,” ucap Saras mencoba membangunkan suaminya.
Ya, Hasan
tertidur dalam posisi sujud.
Pagi yang
cerah ketika seorang guru biologi memasuki ruangan kelas. Anak-anak menyapanya
ramah dengan gigi berseri-seri. Hasan meletakkan buku-bukunya di atas meja,
kemudian duduk dan membuka buku absen. Dipanggilnya nama-nama itu dan berhenti
pada nama seorang gadis.
“Nadya. Nadya
ada? Tidak masuk?”
“Harusnya
sudah masuk, Pak,” jawab ketua kelas.
“Sakit,
mungkin? Sakit jiwa,” celetuk salah satu teman Ninda.
Hasan
tertegun sejenak. Mungkin Nadya memang sakit. Ia menyebutkan nama-nama anak
selanjutnya, kemudian mulai menerangkan materi.
“Pak, saya
belum paham yang bagian sana. Tolong jelasin, dong, Pak! Tapi saya mau bebek
yang menjelaskan, ya. Hehe,” pinta seorang gadis di tengah kelas.
Hasan dengan
senang hati membuka tasnya untuk mengeluarkan boneka bebek. Untuk kedua
kalinya, Ia tertegun. Ada sesuatu yang seharusnya Ia ingat, namun, apa? Ada hal
yang terjadi semalam. Ada sesuatu, namun Ia lupa. Tadi pagi ia terbangun di
atas sejadah. Bebek dalam tas. Seorang gadis? Sakit? Gadis yang sakit? Nadya?
Nadya kesakitan?
“Nadya!”
teriak Hasan tiba-tiba. “Nadya! Kalian harus tolong Nadya! Siapa di sini yang
bisa menyetir!?”
Seisi kelas
menganga dan muncul tanda tanya besar di dahi mereka.
Entah
bagaimana caranya, mobil sekolah berhasil dikendarai anak kelas sebelas IPA I.
Pak Hasan sudah menjamin keselamatan murid-muridnya, dan berkata bahwa dirinya
yang akan menyetir; padahal kursi supir diambil alih oleh Danu. Pak Hasan duduk
di kursi depan sambil mengarahkan jalan menuju rumah Nadya. Seisi mobil masih
bingung akan apa yang sedang terjadi saat ini. Namun, setelah pak Hasan membuka
mulut, semuanya menjadi jelas.
“Nadya serius
mau bunuh diri, Pak!?” tanya salah seorang anak.
“Maka dari
itu kita ke sana sekarang! Danu, ngebut yang kenceng, dong!” perintah anak yang
duduk di belakang.
Perjalanan
mereka dari sekolah menuju rumah Nadya dipenuhi rasa takut dan ngeri. Antara
takut dan ngeri akan kehilangan Nadya, atau takut dan ngeri akan kehilangan
nyawa di dalam mobil yang dikemudikan Danu.
Secarik surat
dengan nama orang yang terakhir sudah selesai ditulis. Sudah ada 24 surat
dengan nama-nama pilihan yang ditulis dan diletakan di atas meja. Kini, Nadya
sudah siap meninggalkan dunia.
Sebuah silet
tajam siap bertemu urat nadi tangan kirinya. Ia menarik napas, namun tak jadi
menyayat. Masih tertumpuk kenangan indah dunia yang kadang Ia lupakan.
“Apa yang
akan terjadi setelah ini? Apakah mereka akan peduli dan menangis? Apakah surat-surat
itu akan mereka baca? Apakah aku akan tetap menjadi guyonan?” tanyanya pada
diri sendiri.
Lantai tak
membuat posisinya nyaman. Ia beranjak ke kasur, mengambil posisi nyaman, dan
menarik napas lagi. Kini Ia berusaha mengingat apa lagi yang kurang. Terdengar
suara cukup rebut dari luar rumah; tapi itu tidak mengganggu proses
kematiannya, kan? Sepertinya Ia sudah siap meninggalkan semuanya.
Silet itu
didekatkannya pada urat nadi. Semakin dekat, ujungnya yang tajam mulai
membukakan pintu kematian untuk Nadya. Ujung silet itu menekan kulit secara
perlahan. Beberapa tetes darah keluar, namun jumlahnya belum cukup untuk
membuat Nadya kehabisan darah dan kemudian mati.
Suara rebut
itu semakin jadi, dan Nadya memejamkan matanya menahan rasa sakit karena Ia
menusuk silet itu secara perlahan. Semakin lama suara gaduh itu semakin keras.
Semakin kencang dan semakin jelas. Hingga akhirnya suara gaduh itu berhenti
ketika seorang kaki menendang pintu kamar Nadya. Sebagian dari anggota kelas
sebelas IPA I kini mengisi kamar tidur Nadya dengan wajah penuh rasa kasihan
dan keringat dingin membasahi.
“Kalian
sedang apa di sini?” tanya Nadya dengan wajah melongi dan silet yang dijauhkan
dari tangannya.
“Nadya,
tolong jangan lakukan ini! Kami masih sayang sama lo!” ucap salah seorang gadis.
“Iya, Nad!
Masih banyak cara untuk menyelesaikan masalah. Kami siap bantu, kok!” saut
lelaki di belakangnya.
Tak tahu
harus berkata apa, Nadya menangis. Bukan, ini bukan tangisan gadis yang
menderita; ini adalah tangisan gadis yang baru saja mendapatkan cinta.
Beberapa anak
menggotong Nadya ke luar menuju ruang tamu, dan mereka memeluk Nadya sebagai
tanda kasih sayang. Namun ada yang janggal; seseorang terbaring di atas sofa.
“Pak Hasan?
Bapak kenapa!?” tanya Nadya panik.
“Uhuk! Uhuk! Tadi penyakit jantung saya
sempat kumat waktu sampai di sini. Uhuk!
Tapi kamu tidak apa-apa, kan, Nad? Kamu membuat seisi kelas khawatir, loh,”
jawab Hasan dengan suara yang kecil.
“Saya tidak
apa-apa, kok, Pak. Terimakasih sudah mau membawa teman-teman ke sini. Saya
benar-benar berterimakasih, Pak. Terimakasih,” ucap Nadya sambil mencium tangan
pak Hasan.
Seminggu
kemudian, Hasan menjalani pengobatan untuk asam lambung dan penyakit
jantungnya. Semua dibiayai anak-anak kelas yang menyumbang. Ini demi kesehatan
pak Hasan yang selalu memberikan keceriaan dan kesan indah yang terukir dalam
dada.
Setelah kejadian
ini, Nadya mulai mencari teman untuk diajak bermain. Kali ini teman-teman
sekelasnya mulai terbuka pada Nadya, begitu pula sebaliknya. Ia mencoba
menciptakan suasana baru dalam kehidupanya. Ia mulai belajar bahwa hal-hal
kecil kehidupan mampu membuatnya bahagia asal Ia tahu bagaimana caranya
bersyukur.
Lalu,
bagaimana dengan Ninda dan kawan-kawan? Danu melaporkan mereka ke pihak
berwajib atas apa yang telah mereka lakukan. Mereka mendapatkan balasan yang
setimpal. Ninda mendapat balasan yang paling berat di antara teman-temannya;
yaitu harus melihat Danu yang kini sudah menjadi kekasih Nadya.
- Tamant -
No comments:
Post a Comment