Pages

Monday, December 4, 2017

Jangan, Nad

   oleh : Kafi ekayasa

   Ia membenarkan kacamata, menyisir rambutnya dengan rapi, dan berjalan menyurusi Lorong sambil membawa buku-buku pelajaran. Puluhan pasang mata menatap; sebagian besar berlari menuju kelas, sisanya tersenyum manis kepadanya. Ketika Ia memasuki ruang kelas, semua menjadi sunyi. Tidak, ini bukan sunyi ketegangan, melainkan sunyi menahan rasa senang. Ketua kelas berdiri, meneriakkan perintah salam, dan anak yang lainnya memberikan salam. Guru tua ini menunduk pelan, menjawab, kemudian membalikkan badan dan mengambil sebuah spidol.
  Hasan Darmono, atau akrab dipanggil “pak Hasan”, adalah guru senior di SMAN 30 Jakarta yang mengajar pelajaran biologi. Tidak pernah tidak hadir di kelas kecuali panggilan rapat, dan hampir tidak pernah memberikan tugas rumah kepada murid. Umurnya sudah memasuki masa pensiun, namun semangat mengajarnya masih membara. Rambut yang mulai memutih seakan berkilau ketika cahaya matahari menembus jendela dan terjatuh di atas kepalanya.
   “Nah, dengan demikian, pembelahan sel itu sendiri terjadi pada sel-“ ucapan Hasan seketika terputus.
   “Prokariotik, Pak!” jawab seorang gadis di salah satu pojok kelas.
   “Itu Nadya?” tanya Hasan sambil membetulkan posisi kacamatanya. “Kamu percaya diri sekali hari ini. Namun, kamu tadi salah. Jawaban yang benar adalah pada sel eukariotik,” dan sekelas menertawakannya. “Sudah. Jangan tertawai dia. Sekarang, siapa yang tahu kapan sel akan membelah?”
   “Kalau sudah waktunya, Pak!” cetus salah satu anak yang duduk di dekat pintu disertai tawa kecil anak-anak di belakangnya.
   Kelas Biologi tak pernah menjadi pelajaran yang sulit ketika Hasan yang mengajar. Semua terasa santai, namun efektif. Ia mementingkan kualitas di atas kuantitas. Seorang guru yang telah lama mengajar, sudah tahu persis apa yang dibutuhkan dan diinginkan murid-muridnya.
   Kelas 11 IPA I mendapatkan jadwal pelajaran Biologi pada jam pelajaran terakhir. Sebelum pulang, biasanya doa dipimpin oleh ketua kelas, dilanjutkan dengan salam, kemudian semua pulang menuju rumah masing-masing. Hasan masih sibuk di meja guru merapikan buku dan boneka bebek yang tadi ia pakai sebagai media presentasi. Anak-anak menyerukan salam kepadanya, namun Ia hanya mampu menjawabnya dengan tersenyum dan mengangguk.
   “Biar Saya bantu, Pak,” ujar Nadya.
   “Oh, ya, terimakasih, Nadya.”
   “Saya suka boneka bebek ini. Siapa namanya, Pak?” tanya Nadya sambil mengambil boneka bebek yang tergeletak di atas meja.
   “Itu punya cucu Saya. Seingat Saya, bebek itu punya nama. Sayangnya Saya lupa, haha.”
   “Bapak beli ini di mana?” tanya Nadya lagi.
   “Saya beli itu di pasar. Kebetulan murah. Kau penasaran sekali, ya?”
   Terjadi keheningan sejenak sampai akhirnya Nadya berkata, “Pak, Saya ingin bertanya.”
   “Kau masih bingung dengan materi tadi?” tanya Hasan.
   Nadya menggeleng, kemudian mengambil kursi dan menempatkannya di samping meja guru. Ia duduk dan bertanya, “Bapak pernah terpikir apa yang akan terjadi kalau bapak sudah tidak ada lagi di Bumi?”
   “Heh, jangan suka bicara seperti itu,” jawabnya. “Tidak baik.”
   “Tapi, Pak, Saya hanya bertanya. Lagipula, Saya memikirkan itu karena Saya hanya penasaran.”
   “Apa yang menumpuk dalam kepalamu itu?” tanya pak Hasan.
   “Saya mulai bertanya apakah akan ada banyak orang menangis ketika melihat jenazah Saya? Apakah mereka akan menceritakan cerita-cerita baik selama Saya hidup? Ataukah mungkin, cerita Saya tidak cukup baik dan tidak cukup banyak untuk mereka ceritakan?” jawabnya.
   Hasan menutup tas selempangnya itu, kemudian meletakkannya di atas pangkuan. Menggoyangkan kumis putihnya perlahan, kemudian bertanya serius, “Nadya, kenapa kau berpikiran seperti itu? Kau ada masalah?” Bahkan sebelum Nadya menggelengkan kepala, Hasan menyelak, “Kalau kau memang ada masalah, Saya bisa bantu. Kau butuh bantuan apa?”
   Nadya tetap membisu seakan hidupnya tak pernah tertimpa beban.
   Sebuah bola sepak memecah kesunyian dengan menabrakkan dirinya pada pintu kayu kelas. Suaranya cukup kencang; cukup kencang untuk mengeluarkan mata Nadya dari kantungnya dan kumis pak Hasan rontok sejadi-jadinya.
   Tak lama, seorang lelaki dengan wajah berkeringat datang untuk mengambil bola yang salah arah itu. Namanya Danu, tak begitu terkenal, tak begitu pula ditinggalkan. Anak yang cukup nakal, namun mampu mengatur jadwal. Seorang yang sempurna bagi seorang perempuan. Sebuah mimpi indah klasik bahkan untuk gadis lugu seperti Nadya.
   “Permisi, pak, Nadya. Itu, anu, Saya ingin mengambil bola yang tadi. Maaf mengganggu,” ucapnya sambal mengambil bola. Ia pergi meninggalkan kelas sambil menggaruk kepala dan senyuman aneh di wajahnya.
   Mata Nadya cukup terkunci pada wajah lelaki itu. Baginya, sapaan seperti itu sudah cukup untuk makan semalam.
   “Itu permasalahanmu?” tanya pak Hasan tanpa ragu-ragu.
   Awalnya Nadya tidak paham apa maksudnya. Dia hanya menatap wajah pak Hasan dengan tatapan kosong. Seketika otaknya kembali terpasang, wajahnya memerah, dan seketika berteriak, “Bukan, Pak! Ya ampun, Pak! Bukan!”
   Sambil berdiri meninggalkan Nadya yang tersipu malu melihat pangeran, Ia berkata, “Ah, suka aneh-aneh saja anak sekarang. Kalau memang suka, ya, jujur saja. Toh, lelaki suka wanita yang jujur, kan?” Sambil tertawa Ia melanjutkan, “Saya suka wanita yang jujur. Saras, istri Saya, adalah wanita yang jujur. Saya jatuh cinta pada kebersihan hatinya,” dan melirik sedikit kearah Nadya. “Kira-kira dia masak apa hari ini, ya?”
   “Semur jengkol supaya bapak sakit perut!” cetus Nadya sambil meninggalkan ruang kelas mendahului pak Hasan.
   Hasan tertawa melihat tingkah Nadya tadi. “Padahal Saya senang makan jengkol,” katanya.

   Lorong sekolah pukul empat sore tampak sepi tanpa anak yang biasanya berlalu-lalang menuju pintu gerbang atau sebaliknya. Di sampingnya ada lapangan yang dipakai anak lelaki bermain futsal. Ya, di sana ada Danu, lelaki yang namanya terukir dalam benak Nadya tiap pagi menyapa. Danu terlihat semangat dengan kaki lincahnya menggiring bola melewati lawan. Tiap langkah menjadi bara api melelehkan hati kecil Nadya. Bahkan, dalam benak Nadya muncul keinginan aneh untuk terhantam bola demi bisa berbicara lagi dengan Danu.
   “Seru, ya?” ucap suara seorang gadis tak jauh dari Nadya.
   Nadya hanya mengangguk, mungkin kupingnya kalah fokus dengan matanya yang terkunci pada Danu.
   “Danu itu memang jago, sih.”
   Anggukan Nadya semakin kencang dan cepat.
   “Tapi Sayang, mungkin lo harus menjauh.”
   Nadya tidak merespon. Mungkin Ia memang harus menjauh. Ia bergeser selangkah ke kiri supaya gadis ini bisa menyaksikan aksi pangeran Danu.
   “Dasar idiot! Bukan menjauh yang seperti itu!” bentaknya.
   Nadya terkaget dan berbalik badan. “N-Ninda? Oh, h-hai!” sapanya gelagapan.
   Ninda memang terkenal dekat dengan Danu sejak masa SMP. Sekalipun Danu berkata tidak, namun Ninda bersikeras untuk menjadi miliknya.
   “Kapan bisa terbangun dari mimpi indahmu itu?” tanyanya layak seorang hakim di pengadilan.
   Sambil membenarkan rambutnya yang lurus dengan sedikit gelombang diujungnya, Nadya berkata, “Eee… Mungkin nanti?”
   “Maaf, Nad, tapi jangan bertingkah centil di depan Gue, ya. Ini serius. Gue tau lo doyan banget sama cowok kayak dia, tapi tolong berhenti mulai dari hari ini,” gertaknya denga nada mulai meninggi.
   Nadya kehabisan kata-kata. Lagipula, dalam benaknya Ia bertanya, kenapa harus menjatuhkan orang lain untuk mencapai puncak? Namanya hidup sudah pasti bersaingan, bukan?
   “Kalau lo memang bersikeras untuk rebut dia dari Gue, silakan saja,” ancamnya. “Gue ga sendirian.”
   Ninda meninggalkan Nadya dengan langkahannya yang angkuh. “Mati aja, lo,” gumamnya. Ia menghampiri Danu sambil merapikan wajahnya; menjadi gadis periang bermuka dua lagi.
   Setetes air mata mengalir dari mata kanannya, menuju pipi, kemudian jatuh di dekat kantung seragam putihnya itu. Kepalanya seakan tertimpa Gunung Semeru. Dadanya seakan terhimpit di tengah Selat Malaka. Kakinya melentur seperti kain-kain batik pengerajin Jogja. Ia tak kuat. Matanya mengucurkan rasa sakit yang baru saja diterimanya. Tak mau menampung malu, Nadya pergi keluar sekolah dan segera menuju pangkalan ojek. Ia mengusap air matanya, dan secepat kilat di langit Banyuwangi, ia sudah sampai di rumah.

   Sarti membukakan pintu untuk Nadya yang baru saja sampai di rumah. Gerbangnya bukanlah gerbang mahal setinggi tiga meter, melainkan gerbang biasa yang digeser untuk memudahkan mobil keluar dan masuk. Rumahnya bukan pula rumah megah yang biasa dilihat di layer kaca, melainkan rumah yang cukup untuk keluarga dan saudara yang sengaja berkunjung. Kamarnya pun bukanlah kamar impian yang biasanya terpampang di Internet, melainkan kamar berukuran dua kali dua meter dengan sebuah kasur, meja belajar, dan sebuah lemari. Hidup Nadya tidak berbeda dari kehidupan anak lainnya; hanya ingin bahagia, itupun sudah lebih dari cukup.
   Teh sudah menjadi sahabat menulisnya sejak kecil. Ia seorang penulis kritik di berbagai media berita dengan nama samaran yang ia buat. Dalam dunia maya, ia adalah ratu berotak kritis. Namun, julukan itu mungkin tidak ada apa-apanya dalam kehidupannya di sekolah.
   Ia punya sebuah buku diary kusam yang dikubur di bawah tumpukan baju dalam lemarinya. Isinya tentang berbagai keluhan dan penderitaan apa lagi yang Ia rasakan. Sekalipun tak ada seorangpun selain Nadya yang membacanya, Ia tetap menulis dan menulis. Menurutnya, Tuhan tahu doa dapat diberikan lewat mana saja, dan Ia yakin bahwa Tuhan juga mau membaca diary-nya.
   Ponsel tak berdering sejak tadi turun dari motor; padahal batere masih tersisa 86%, dan sudah terhubung pada jaringan Wi-Fi. Tak ada notifikasi apapun baik dari teman sekelas, Danu, bahkan orangtuanya. Ya, Mama dan Papa tak pernah menghubungi Nadya via ponsel maupun surat. Mungkin, rumah ini memang dibangun untuk Nadya dan mbok Sarti tanpa keberadaan Mama dan Papa.
  
   Berpakaian rapi dan bersih, sepatu mengkilap lengkap dengan tali yang terikat indah, Ia berjalan menyusuri Lorong sekolah menuju ruang guru. Wajahnya berseri-seri; bibirnya tersenyum cukup lebar hingga berhasil membuat kumis putihnya itu tampak seperti garis lurus. Guru-guru lain dibanjiri tanda tanya. Ada apa dengan Hasan?
   “Istri Saya tadi pagi membuatkan Saya bekal. Alhamdulillah si cantik sedang baik hari ini,” ucapnya pada seisi ruangan.
   “Hari ini ada yang spesial, Pak?” tanya seorang guru di ujung ruangan.
   “Sepertinya tidak.”
   “Bapak yakin?” tanya guru lain.
   “Oh, jelas. Saya yakin sejuta persen,” ucapnya sambil membuka kotak bekal.
   “Bapak yakin hari ini tidak ada yang berulangtahun?”
   Benar saja, di dalam kotak bekal itu terdapat nasi goreng yang diselimuti telur dadar goreng. Di atas telur dadar goreng itu tertulis “Selamat hari ulangtahun pernikahan kita, ya, Pak,” dengan menggunakan saus tomat.
   Pak Hasan membeku. Ia lupa kalau hari ini adalah hari bersejarah dalam kehidupan mereka berdua. Tangannya membeku, kumisnya rontok. “Saya memang pelupa,” gumamnya dengan nada kecewa.

   Dentuman keras terdengar dari belakang sekolah, tepatnya di ruang gudang peralatan. Pintu terkunci rapat, lampu kuning tua menyala remang tak mampu menyinari seluruh sudut ruangan. Ninda, bersama kelompoknya tengah bersenang-senang dengan gadis yang meminta ampun tanpa henti-hentinya. Nadya hanya mampu menyilangkan tangannya di depan muka, berusaha menangkis tamparan demi tamparan yang mereka beri. Roknya diSayat-Sayat dan ditarik oleh salah seorang gadis bertubuh besar dari kelompok Ninda. Nadya hanya sendiri, sedangkan mereka bertujuh.
   “Heh, jablay! Ini peringatan terakhir bua lo! Jangan pernah lagi lo deketin Danu!” seru gadis kurus berwajah tua dari kelompok Ninda.
   “Iya! Danu itu cuma milik Ninda! Cuma dia yang berhak!” lanjut gadis berambut ikal di sebelah Ninda.
   Ninda hanya tertawa sambil menjejalkan ujung sepatunya ke mulut Nadya.
   Setelah merasa puas, mereka pergi melangkah meninggalkan ruang gudan. Tak tanggung-tanggung, salah satu anak di antara mereka ada yang sengaja kembali ke ruangan hanya untuk meludahi wajah Nadya yang sudah basah oleh tangisan bahkan sebelum ludah itu jatuh.
   Tangisan seorang gadis terdengar ketika Hasan tengah mencari udara segar di sekeliling sekolah. Penasaran, Ia mengendus-endus mencari asal suara itu. Tak lama hingga akhirnya ia memutuskan untuk memeriksa ruang gudang. Terkejut Ia melihat asal suara itu adalah Nadya yang tengah mengelap air matanya dengan kain lengan baju seragamnya. Dengan panik, Hasan menghampirinya dan bertanya ada apa. Tak satupun frasa keluar dari bibirnya melainkan tangis yang cukup dalam. Hasan merangkulnya, memintanya untuk berdiri, dan membawanya ke ruang BK.
   Di ruang BK, beberapa guru mengajukan pertanyaan soal apa yang dialaminya tadi. Sebagian besar pertanyaan mengarah pada siapa yang melakukan ini padanya. Aneh, tapi Nadya tak menyebutkan satu nama pun. Hasan dan guru-guru lainnya sudah lelah bertanya tanpa adanya jawaban pasti dari Nadya. Kasus ini diajukan pada pihak kepala sekolah, dan dalam hitungan hari, belasan kamera CCTV dipasang di sudut-sudut sekolah; tak memberikan celah gelap pandangan pihak sekolah bagi mereka yang tidak bertanggungjawab.
   Penambahan mata pada sudut-sudut sekolah tetap tidak meredakan kekhawatiran Nadya dari komplotan jahat Ninda. Ke manapun Ia pergi, Ia merasa diawasi oleh pihak yang masih dendam padanya. Dengan terpaksa Ia harus menundukkan kepala setiap kali Danu menyapa atau sekedar menatap. Ya, Nadya trauma akan hal yang menimpanya beberapa hari lalu.
   Naas, semua penderitaan tak berhenti di situ. Tepat sehari setelah pemasangan kamera CCTV, komplotan Ninda kembali menyerbu. Badai datang lebih dari tujuh awan kali ini. Sekiranya ada belasan; dan mereka tampak cukup murka akan suatu hal. Nadya tahu ini bukan salahnya, namun kepalan tangan yang meninjunya berkata lain.
   “Jadi lo cepu dari semua ini!?” teriakan Ninda cukup keras hingga menggema dalam ruang gudang sekolah. “Dasar ember! Pengecut! Bisanya hanya mengadu dan mengadu! Lemah!”
   Tangannya kali ini diikat. Air mata mengalir tak henti-hentinya; tak berhenti layaknya sepatu yang terus menendangi tubuhnya itu.
   “Hajar saja, Nin!” ujar salah satu gadis di antara mereka.
   Dengan panik, salah satu dari mereka ada yang berteriak, “Ada guru! Sirine putih! Sirine putih!”
   Lebih cepat dari cahaya, mereka semua kabur melalui jendela yang kebetulan bertolakbelakang dengan pintu masuk gudang. Sementara mereka panik tak karuan, Nadya hanya bisa menangis dan meminta tolong.
   Pintu terbuka, dan tak lain tidak bukan adalah pak Hasan yang sedari tadi memantau kamera CCTV. Ia sebenarnya tahu kalau Nadya tadi sempat diseret menuju gudang, namun apa daya pria tua dengan asam lambung yang tinggi. Ia baru sampai di gudang beberapa menit setelah perutnya kembali stabil.
   “Ini tidak bisa dibiarkan. Nadya, sekarang jujur kepada Saya. Siapa yang baru saja melakukan ini padamu?”
   Nadya hanya menggelengkan kepalanya sambil menahan air mata yang terus mengalir.
   “Nak, jujur pada Saya. Akan Saya bantu sebisa Saya.”
   Ia tetap menggelengkan kepalanya.
   Andaikata kamera yang dibeli sekolah adalah kamera berkualitas bagus, bisa saja pelaku sudah teridentifikasi.
   Kali ini BK memberikan surat izin pada Nadya untuk tidak masuk sekolah hingga hari Kamis; ini demi menenangkan pikirannya sejenak dari kekerasan yang Ia alami di sekolah. Dengan tas biru tosca yang biasa Ia pakai, Nadya pergi keluar sekolah dengan langkah yang cukup lemah.

   Meskipun sudah tua, semangatnya masih membara. Hasan membuat sayembara untuk siapapun yang mampu menemukan pelaku kekerasan terhadap Nadya, akan diberikan imbalan berupa penghargaan dan tiket pulang-pergi ke Jogja untuk bertamasya. Ia mengumumkan ini melalui amanat yang biasanya disampaikan oleh pembina upacara pada hari Senin. Ya, Hasan sudah pasti serius soal mencari siapa pelaku kekerasan ini.
   Wajahnya mengkerut, namun dibasahi oleh keringat dingin. Ninda melirik ke kanan dan ke kiri; mencari-cari temannya untuk berlindung. Ia takut. Ia ingin pulang lebih cepat, paling tidak dua detik dari sekarang.

   Hari pertama cutinya Ia habiskan untuk menulis argumen-argumen kritis terhadap pemerintah di media sosial. Dengan nama samaran Clowny, banyak warganet yang terpukau dan mulai mengikutinya. Namanya semakin harum di masyarakat, dan masyarakat semakin menantikan argument apa lagi yang akan ditulisnya. Nadya cukup senang dengan kehidupan fananya. Ia mulai terbawa lamunan dunia maya, namun tangannya terlepas pada ikatan dunia nyata.
   Notifikasi E-Mail muncul pada sudut kanan bawah laptop-nya. Ini dari pak Hasan. Ia menyapa Nadya dengan ketikannya yang masih sering salah huruf. Maklum, pak Hasan gagap teknologi dan tangannya sudah tak segesit waktu muda dulu.
   “Nsdya,, kamu baikbaik sja/ Saya mau brlajar pakai email untuk komniksi dgn murid sya.”
   “Alhamdulillah, Saya baik-baik saja, Pak. Terimakasih sudah mau tau kondisi Saya, Pak. Terimakasih juga sudah membantu Saya beberapa kali. Saya apresiasi itu,” balas Nadya.
   “Y, sya jg slalu mendoakn yg terbsik utk nadya. Kmu jgn sedihsedih lg klau ada papa kamu blh crita k Saya.”
   Dan semenjak itu Nadya mulai terbuka untuk mengeluarkan penderitaan hatinya.
   “Mereka selalu mengikuti gerak-gerik Saya, Pak. Dua tahun terakhir ini, mereka mengancam Saya untuk tidak dekat dengan seseorang. Ya, Saya tahu tindakan mereka terlalu kekanak-kanakan, tapi apa mampu Saya, Pak?
   “Perut Saya semakin sakit, Pak. Luka-luka memar dalam tubuh Saya juga lama sekali sembuhnya. Setiap kali Saya mandi, luka-luka ini memutar kembali kejadian waktu itu. Ini bukan hanya penderitaan fisik, Pak. Ini berpengaruh pada jiwa Saya juga!”
   “Nadys Saya tahu km sdg dibri cobaan tp ttp sabra krn Allah sll mmbantu kita klw susah.”
   Mungkin jawaban dari pak Hasan tak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Nadya. Ia mengharapkan kalimat yang lebih memotivasi dan mendukung kondisi mentalnya untuk sembuh. Namun, Nadya sadar bahwa pak Hasan bukanlah siapa-siapa melainkan guru tua gagap teknologi namun hati suci bersih dan selembut sutra.
   Papa pulang dari pelayarannya yang jauh. Seharusnya sudah ada sebuah kue cokelat lezat menyambut kepulangan Papa; namun Nadya lupa akan hal itu. Ketika bel rumah berdering, Nadya melompat dari kasurnya menuju ruang tamu. “Papa pulang!” jeritnya. Namun senyuman itu pudar ketika melihat Papa pulang bersama sebotol minuman keras. Wajahnya merah, matanya sayu, namun alisnya mengkerut layaknya sedang murka. Nadya melangkah perlahan ke belakang untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
   “Hei, sini kamu! Papa dengar kamu ada masalah, ya, di sekolah!?” teriak Papa teramat keras.
   Karena takut, Nadya lari kembali masuk ke kamar dan mengunci pintu. Teriakan itu mengikutinya bahkan ketika Ia sudah menjadi kepompong di dalam selimut.
   “Dasar cengeng kamu! Lemah! Pengecut!” lanjut Papa sambil berteriak. Ia berhenti sejenak; mungkin untuk menarik napas atau meneguk minuman kerasnya itu. “Mati saja, kau!”
   Wajah bahagianya kini tenggelam dalam air mata. Kedua telapak tangannya berusaha menghadang suara itu masuk ke dalam telinga, namun gagal.
   “Anak haram! Kamu anak haram! Lihat ibumu sekarang melacur ke mana! Papa kecewa punya anak pengecut seperti kamu!”
   Habis sudah air mata Nadya. Ia ingin menjerit namun tercekik, ingin melawan namun terkekang. Ia lumpuh. Hatinya mati. Warna matanya memudar dan napasnya melambat. Kalimat itu menusuknya perlahan dan sakit sekali. Tidak, hidup tidak menjamin kebahagiaannya. Ia ingin pergi dari dunia ini.
   Nadya tertidur setelah lelah mengucurkan kesedihannya dalam diary-nya. Tiap halaman dihiasi setidaknya setetes air mata yang terjatuh. Setiap halamannya berisi kesedihan dan penderitaan yang tak mampu Ia suarakan. Hanya aksara yang mampu menampung segala duri dan paku dalam sukma.

   Ia terbangun pada pukul empat pagi. Setelah melaksanakan solat, ia menulis beberapa pesan kepada pak Hasan melalui E-Mail.
   “Pak, maaf Saya baru balas. Kemarin Saya sedikit sibuk dengan tulisan-tulisan Saya di Internet.
   “Pak, Saya mau bertanya. Apa iya ketika mati nanti, Saya akan bahagia? Maksud Saya, dunia ini sudah tidak ramah lagi pada Saya. Begitu banyak hal yang menekan dan membuat Saya tersiksa. Tak peduli siapa, mereka selalu saja menyulitkan dan disulitkan oleh Saya. Saya ingin berhenti dari semua ini. Kapan Saya bisa mati, Pak?”
   Setelah pesan itu terkirim, Ia menutup laptop dan berbaring di kasur. Dengan tangan kiri sibuk berselancar di layar kaca ponsel, Ia menemukan sesuatu yang janggal. Beberapa foto yang cukup gelap dan sebuah video beresolusi kecil. Seorang gadis menangis sementara yang lain menertawakan dan mencaci. Benar saja, gadis di video itu adalah Nadya.
   Terkejut dan sesak ketika Ia tahu aibnya tersebar luas di dunia maya, Ia terus membaca caption yang tercantum.
   “INI NIH PENULIS SOK BIJAK YANG NGAKU DIRINYA CLOWNY!! LO JANGAN BELAGA REBUT JODOH ORANG DEH! LACUR LO HAHA! DASAR CEPU!” tulis salah satu akun yang namanya tak sesuai dengan konten yang disediakan.
   Segera Ia mematikan layar ponsel dan memejamkan mata; berharap tadi itu hanya mimpi. Sekalipun itu bukan mimpi, Ia berharap terbangun di dalam kubur daripada harus tersiksa dunia.

   Ia terbangun lagi pada pukul tujuh pagi dengan ponsel dibanjiri notifikasi. Entah itu dari E-Mail, Line, ataupun aplikasi lainnya, semua bertanya akan kebenaran dari foto dan video yang tengah viral itu. Tak mampu menjawab semua, Ia pendam rasa rujak itu dalam dada. Dengan menahan isak tangis pagi hari, ibu jarinya menggulung layar ponsel dan membaca komentar warganet. Tak ada respon baik. Semuanya celaan, hinaan, dan makian. Kini dunia tahu siapa Clowny yang sesungguhnya – dengan gambaran yang buruk, pastinya.
   Aneh, tapi belum ada respon apapun dari pak Hasan mengenai surat yang Ia kirim pagi tadi. Mungkin Ia sudah mengajar atau apa, tak ada yang tahu. Nadya hanya berharap pak Hasan membalas pesannya, Papa kembali berlayar, Ninda berhenti mengganggu, dan dia bisa mati dengan tenang.

   Pukul tujuh malam, ketika notifikasi komentar warganet masih mengalir deras, ketika kepalanya masih tertimpa Gunung Jaya Wijaya, sebuah panggilan telepon dari nomor tak bernama muncul. “Ini pasti dari orang iseng,” ujar Nadya. Dengan curiga dan penasaran yang tinggi, Nadya mengangkat panggilan itu.
   “Nadya! Assalamualaikum! Ini Saya, pak Hasan!” sapanya dengan semangat.
   “Eh, bapak? Waalaikumsalam. Bapak tahu nomor Saya dari mana?”
   “Saya punya data nomor ponsel satu kelas. Karena Saya masih khawatir dengan kondisimu, Saya iseng telepon ke sini. Bagaimana? Sudah lebih baik?” tanyanya ramah.
   “Alhamdulillah, Pak. Saya masih sehat.”
   “Saya beli ponsel ini cukup murah. Baru kali ini Saya punya ponsel. Tadi tukangnya mengajari Saya cara menelpon, dan Saya segera menelpon kamu.”
   “Oh iya, Pak, ehehe…” balasnya takt ahu harus berkata apa.
   Terjadi keheningan sesaat, namun napas pak Hasan yang cukup keras masih terdengar jelas.
   “Bapak kenapa tidak membalas pesan Saya?” tanya Nadya mencairkan suasana.
   “Saya menjual laptop Saya untuk membeli ponsel,” jawabnya santai.
   “Hah!? Nanti bapak presentasi bagaimana?”
   “Jaman Saya dulu mengajar, anak-anaknya bisa pintar tanpa perlu slide show, kok.”
   Obrolan mereka beralih pada masa-masa SMA yang pernah dialami oleh pak Hasan, dan bagaimana Ia menjalani masa remajanya. Beberapa kali Ia selipkan motivasi dan guyonan khasnya untuk menceriakan Nadya. Untuk sejenak Nadya lupa akan rasa sakit yang dideritanya.

   “Masa SMA itu memang sulit, Nad. Saya doakan kamu mampu melewati semua ini. Segala permasalahanmu, kesulitanmu, dan kawan-kawannya adalah rencana Tuhan untuk nantinya kamu jadikan sebagai kenangan dan cerita yang akan kau banggakan. Kalau kamu berhasil melewati semua ini-“
   “Semua salah Danu, Pak,” selak Nadya. “Kalau bukan karena dia, Saya tidak seperti ini.”
   “Maksud kamu?” tanya Hasan kebingungan.
   “Iya. Andaisaja Saya tidak suka pada Danu, dan dia tidak disukai oleh seorang wanita yang merasa dirinya terganggu, Saya tidak mungkin di sini. Dia anggap diri Saya apa? Dia melecehkan Saya layaknya hewan! Bapak lihat sendiri kondisi Saya ketika itu di gudang!? Itu perlakuan mereka, Pak!”
   “Tunggu, tunggu, jadi ini perlakuan orang yang cemburu padamu-“
   “Iya, Pak! Saya tahu Saya anak yang lemah! Saya tahu Saya hanyalah anak biasa dari keluarga biasa dan bukanlah anak kelas borjuis seperti dia! Saya tahu Saya tidak punya teman setia seperti yang dia punya!”
   “Nadya, dengarkan Saya. Memangnya mereka melakukan apa saja padamu?”
   “Bapak belum lihat beritanya? Video penyiksaan Saya sudah tersebar di Internet!”
   “Tapi Saya-“
   “Iya Saya tahu bapak belum paham cara akses internet.”
   “Maaf-“
   “Tapi tetap saja, Pak! Saya tidak terima Saya diperlakukan seperti ini! Ini tidak manusiawi! Saya sudah tidak kuat hidup di sini, Pak! Beri Saya solusi untuk mati tenang!” jeritnya.
   Hasan kehabisan kata. Yang Ia mampu berikan hanyalah motivasi ringan yang pernah Ia baca di salah satu buku di ruang perpustakaan.
   “Omong kosong, Pak! Tak pernah ada yang benar-benar mencintai Saya! Ibu Saya pergi bersama pria lain, sementara ayah Saya mabuk-mabukan! Ketika Saya benar-benar ingin merasakan apa itu cinta, dunia menolak dan mengirim pasukan gadis bodoh tak berpendirian kepada Saya!
   “Ya, menangis dan berteriak tidak akan ada gunanya, bukan!? Begitu pula kalau saya mati! Tak ada yang berubah. Langit tak kelabu, Bumi tak mengering, bintang tak meredup. Untuk apa saya hidup kalau tidak ada artinya pada dunia!?
   “Bapak hidup cukup lama hingga rambut memutih seperti itu karena Bapak tidak tahu apa yang saya alami! Bapak hanya berusaha peduli karena Bapak kasihan, bukan!? Tak pernah ada orang yang murni peduli kepada Saya!”
   Terjadi kesunyian selama beberapa saat.
   “Nadya, Saya tahu Saya salah; Saya akui itu. Saya juga belum pernah merasakan seperti apa yang kamu sedang rasakan sekarang. Pasti sakit dan benar-benar membebani. Saya bisa bantu apa? Akan Saya bantu sebisa mungkin. Untuk saat seperti ini sepertinya Saya hanya bisa bantu lewat doa, jadi-“
   “Terimakasih, Pak. Tapi, Saya lebih baik mati daripada terus-menerus seperti ini,” selak Nadya sambil memutuskan panggilan.
   Hasan panik dan seisi rumahnya dibanjiri keringat dingin dan rasa cemas. Ia berkali-kali menelpon ulang Nadya, namun tak ada jawaban. Ia khawatir apabila Nadya benar-benar ingin melakukannya. Ia ingin mendatangi rumahnya, namun kini waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, dan kondisi tubuh Hasan yang sudah tua tak mampu mengabulkan keinginannya. Saras sudah tertidur pulas; ingin dibangunkan pun kasihan. Ingin ia telepon seorang teman sesame guru, namun ia tidak tahu caranya. Hasan terjebak. Ia tidak tahu harus berbuat apa.
   Sudah dan tidak tahu harus apa lagi, akhirnya Ia mengambil sejadah, duduk menghadap kiblat, dan berdoa kepada sang maha kuasa. Dalam doanya terselip permintaan agar Nadya tidak melakukan hal seperti itu. Ia meminta agar Nadya disadarkan dan memilih jalan yang lebih baik daripada membunuh dirinya sendiri. Hasan mengambil posisi sujud dan meminta sambil menangis.
   “Mas, bangun. Sudah waktunya solat Shubuh,” ucap Saras mencoba membangunkan suaminya.
   Ya, Hasan tertidur dalam posisi sujud.

   Pagi yang cerah ketika seorang guru biologi memasuki ruangan kelas. Anak-anak menyapanya ramah dengan gigi berseri-seri. Hasan meletakkan buku-bukunya di atas meja, kemudian duduk dan membuka buku absen. Dipanggilnya nama-nama itu dan berhenti pada nama seorang gadis.
   “Nadya. Nadya ada? Tidak masuk?”
   “Harusnya sudah masuk, Pak,” jawab ketua kelas.
   “Sakit, mungkin? Sakit jiwa,” celetuk salah satu teman Ninda.
   Hasan tertegun sejenak. Mungkin Nadya memang sakit. Ia menyebutkan nama-nama anak selanjutnya, kemudian mulai menerangkan materi.
   “Pak, saya belum paham yang bagian sana. Tolong jelasin, dong, Pak! Tapi saya mau bebek yang menjelaskan, ya. Hehe,” pinta seorang gadis di tengah kelas.
   Hasan dengan senang hati membuka tasnya untuk mengeluarkan boneka bebek. Untuk kedua kalinya, Ia tertegun. Ada sesuatu yang seharusnya Ia ingat, namun, apa? Ada hal yang terjadi semalam. Ada sesuatu, namun Ia lupa. Tadi pagi ia terbangun di atas sejadah. Bebek dalam tas. Seorang gadis? Sakit? Gadis yang sakit? Nadya? Nadya kesakitan?
   “Nadya!” teriak Hasan tiba-tiba. “Nadya! Kalian harus tolong Nadya! Siapa di sini yang bisa menyetir!?”
   Seisi kelas menganga dan muncul tanda tanya besar di dahi mereka.

   Entah bagaimana caranya, mobil sekolah berhasil dikendarai anak kelas sebelas IPA I. Pak Hasan sudah menjamin keselamatan murid-muridnya, dan berkata bahwa dirinya yang akan menyetir; padahal kursi supir diambil alih oleh Danu. Pak Hasan duduk di kursi depan sambil mengarahkan jalan menuju rumah Nadya. Seisi mobil masih bingung akan apa yang sedang terjadi saat ini. Namun, setelah pak Hasan membuka mulut, semuanya menjadi jelas.
   “Nadya serius mau bunuh diri, Pak!?” tanya salah seorang anak.
   “Maka dari itu kita ke sana sekarang! Danu, ngebut yang kenceng, dong!” perintah anak yang duduk di belakang.
   Perjalanan mereka dari sekolah menuju rumah Nadya dipenuhi rasa takut dan ngeri. Antara takut dan ngeri akan kehilangan Nadya, atau takut dan ngeri akan kehilangan nyawa di dalam mobil yang dikemudikan Danu.

   Secarik surat dengan nama orang yang terakhir sudah selesai ditulis. Sudah ada 24 surat dengan nama-nama pilihan yang ditulis dan diletakan di atas meja. Kini, Nadya sudah siap meninggalkan dunia.
   Sebuah silet tajam siap bertemu urat nadi tangan kirinya. Ia menarik napas, namun tak jadi menyayat. Masih tertumpuk kenangan indah dunia yang kadang Ia lupakan.
   “Apa yang akan terjadi setelah ini? Apakah mereka akan peduli dan menangis? Apakah surat-surat itu akan mereka baca? Apakah aku akan tetap menjadi guyonan?” tanyanya pada diri sendiri.
   Lantai tak membuat posisinya nyaman. Ia beranjak ke kasur, mengambil posisi nyaman, dan menarik napas lagi. Kini Ia berusaha mengingat apa lagi yang kurang. Terdengar suara cukup rebut dari luar rumah; tapi itu tidak mengganggu proses kematiannya, kan? Sepertinya Ia sudah siap meninggalkan semuanya.
   Silet itu didekatkannya pada urat nadi. Semakin dekat, ujungnya yang tajam mulai membukakan pintu kematian untuk Nadya. Ujung silet itu menekan kulit secara perlahan. Beberapa tetes darah keluar, namun jumlahnya belum cukup untuk membuat Nadya kehabisan darah dan kemudian mati.
   Suara rebut itu semakin jadi, dan Nadya memejamkan matanya menahan rasa sakit karena Ia menusuk silet itu secara perlahan. Semakin lama suara gaduh itu semakin keras. Semakin kencang dan semakin jelas. Hingga akhirnya suara gaduh itu berhenti ketika seorang kaki menendang pintu kamar Nadya. Sebagian dari anggota kelas sebelas IPA I kini mengisi kamar tidur Nadya dengan wajah penuh rasa kasihan dan keringat dingin membasahi.
   “Kalian sedang apa di sini?” tanya Nadya dengan wajah melongi dan silet yang dijauhkan dari tangannya.
   “Nadya, tolong jangan lakukan ini! Kami masih sayang sama lo!” ucap salah seorang gadis.
   “Iya, Nad! Masih banyak cara untuk menyelesaikan masalah. Kami siap bantu, kok!” saut lelaki di belakangnya.
   Tak tahu harus berkata apa, Nadya menangis. Bukan, ini bukan tangisan gadis yang menderita; ini adalah tangisan gadis yang baru saja mendapatkan cinta.
   Beberapa anak menggotong Nadya ke luar menuju ruang tamu, dan mereka memeluk Nadya sebagai tanda kasih sayang. Namun ada yang janggal; seseorang terbaring di atas sofa.
   “Pak Hasan? Bapak kenapa!?” tanya Nadya panik.
   “Uhuk! Uhuk! Tadi penyakit jantung saya sempat kumat waktu sampai di sini. Uhuk! Tapi kamu tidak apa-apa, kan, Nad? Kamu membuat seisi kelas khawatir, loh,” jawab Hasan dengan suara yang kecil.
   “Saya tidak apa-apa, kok, Pak. Terimakasih sudah mau membawa teman-teman ke sini. Saya benar-benar berterimakasih, Pak. Terimakasih,” ucap Nadya sambil mencium tangan pak Hasan.

   Seminggu kemudian, Hasan menjalani pengobatan untuk asam lambung dan penyakit jantungnya. Semua dibiayai anak-anak kelas yang menyumbang. Ini demi kesehatan pak Hasan yang selalu memberikan keceriaan dan kesan indah yang terukir dalam dada.
   Setelah kejadian ini, Nadya mulai mencari teman untuk diajak bermain. Kali ini teman-teman sekelasnya mulai terbuka pada Nadya, begitu pula sebaliknya. Ia mencoba menciptakan suasana baru dalam kehidupanya. Ia mulai belajar bahwa hal-hal kecil kehidupan mampu membuatnya bahagia asal Ia tahu bagaimana caranya bersyukur.
   Lalu, bagaimana dengan Ninda dan kawan-kawan? Danu melaporkan mereka ke pihak berwajib atas apa yang telah mereka lakukan. Mereka mendapatkan balasan yang setimpal. Ninda mendapat balasan yang paling berat di antara teman-temannya; yaitu harus melihat Danu yang kini sudah menjadi kekasih Nadya.


- Tamant -

No comments:

Post a Comment